Jumat, 28 April 2017

Kalam

Untukmu Sang Maha Pengampun
Ampunkan pedang yang mungkin terhunus dari tutur dan menusuk hati-hati pemujaMu

Nan tak jarang jua menjelma penyuluh luka yang  menambah buari-buari diryah pada nafsi

Dan untukmu Sang Maha Santun, pelantun firman-firman suci keindahan agung..
Andai, ujar-ujarku adalah tajam yang melangit tinggi
Mohonkan majal untuk membumikan dengan amat hati-hati..

Ampun...
Kalam...

Selasa, 25 April 2017

Tenggang

Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, tapi waktu bisa membuat seseorang menjadi lebih baik. 

Gelana

Biarkan nahkoda ini menepi sejenak. Jika pun harus bersarak, anggap saja sebagai tanda sujud pada alur waktu yang berjarak. 

Ar-Rahman

Selalu kutemukan, Tuhan yang terkasih tersenyum mengabulkan ragam buih munajat yang dipanjat. tanpa pedulikan dosa, kasta atau jutaan keparat yang telah dibuat. -Arrahmaanirrohhim-

Sesal

Senja kadang datang terlambat atau hanya sesaat sampai benar-benar ditelan pekat.
Seperti rindumu yang sesal, yang telah kututup rapat karena terdului rindu lain yang menjelma obat.

Tenang, aku tak kan lagi berlari mengejarmu.
Aku akan duduk manis mengukir bongkah batu rindu payah yang kau tinggalkan.
Kupahat hingga menjadi prasasti indah, dan lalu kutata di taman rinduku yang baru.

Ah, sudah hampir usai rupanya.....
Lekas bergegas...
Tinggalkan...
Bekas...
Rasa.... Bangun, sudah hampir malam...
"Oh tadi itu aksara mimpi, tak benar-benar kutulis. Rekaan rupanya"
Hal lalu..... Sudahlah....

"Kertas, kopi dan secangkir rindu"

Sejenak, aku ingin mengarang asa tentang kita berdua..
Bukan tentang cinta(?) atau kacang-kacangan sejenisnya yang menjadi pendamping bait-bait ini.. Sederhana saja, hanya tentang prasangka damai dalam bincang hati dan rasa.

Sambil kuteguk secangkir rindu yg pernah kau buat, silahkan dengan damai kau bercerita...
hey apa kau mendengarnya?
..... Lalu..... Sementara kita lupakan dahulu rindu yang belum saatnya..
Agar mata kita tak tergiur fana... Nikmati sejenak jeda dan percaya ini bukanlah lara.. Percayalah hati, belum saatnya jatuh di atas layaknya bangun, jangan sampai mata melihat dengan buta..
Sampai saatnya, lebih dari ini kau kupanggil kasih.. -

-LENGANG-

"Kini aku lebih menyukai mati
Bermimpi mati, membayangkan dan mengaharapkan mati

Atau mungkin aku memang sedang jatuh cinta dengan mati... Seperti hakikatnya, mati ialah padam
Menyapu lembut hal-hal hidup

Kobaran dari suluh-suluh benci, caci atau dengki
Yang sememangnya harus mulai baur dan melipir pergi.. Aku ingin mati...
Mati membencimu...
Mati membenci masa lalu...
Mati untuk membenci segala caci dan sumbang alunan para peri yang katanya penjaga janji...
Mati untuk mati dari keterpurukan dengki... Jika itu mati, aku ingin mati...
Mati menjerat hati yang lebih menyukai hal-hal yang tak pasti... Tak lagi hidup, dalam gabas dan cendala... .AH.

Dadu

Aku mungkin bukan pelaut andal yang memesona di samudera luka

Karena bodohnya, Aku melulu dikelabui jerat agar (selalu) menyisih di pulau yang menyajikan kesan renjana

Berkali-kali dan tubi. Sore, malam dan pagi. Sedangkan riak, menghempas keji (dan lagi). Bebal, fana dan abadi terjungkir kuarifi... ... Senja selalu memiliki cara untuk mampu menerjemahkan sketsa cerita perkara berbau luka, bahagia atau cerita rendahan seperti cinta nan fana. Semisal tulisan ini... Ya... ... Esok pagi dan lusa nanti mungkin aku akan terus melempar dadu, berjudi dan membutai ainNya.
Menyenggamai dusta demi fana.

Ini bodoh, dungu nan pekat. Laknat!

Sedangkan dermagaNya telah tersaji indah, nyata. 

Me-reka

Di belahan dunia yang jauh dari hirup pikuk fana. Di sini, ada sekelompok anak menghiasi lidah polosnya, menerangi senja yang baur dengan ayat-ayatNya. Senja yang dikemas puitis dibanding aksara manis atau mungkin sapaan cinta bual yang saling lontar antara pemuja obsesi berhasrat sadis. Entahlah, selayaknya yang hakiki manis adalah yang tak pernah terkecap, yang tak membiarkan diri terkikis. Alasan apapun, selalu saja deret kata "niat baik" selalu tolol terdengar untuk menyenggamai kebodohan hasrat iblis, miris. 
Miris munajat dan aksara-aksara puitis yang sia kau tulis...
Bahagia macam apa itu?

Tulisan ini mungkin praktis, langsung ditulis namun bukan sisi skeptis. Mengalir saja...
Semestinya bahagiapun seperti itu, mengalir dan dialirkan olehNya..
Tak perlu menerka-nerka atau malah me-reka bahagiaNya dengan rekaan-rekaan fana.. Sederhana saja, dan kau cukup percaya...
Seperti wajah-wajah dalam bingkai, menjelaskan segala halNya adalah kebahagiaan yang membahagiakan, dan membiarkanNya membahagiakan hidupmu dengan segala yang tak teringkarkan.. 

"t-a-k la-gi"

Sudah kuteguk habis secangkir lara yang (tak lagi) kau aduk lembut...
Berbagai macam rasa kau taburkan di sana, campur aduk menjadi bena... Menggulung, menutup dan mengaramkan karang terjal, yang mungkin saja kau gunakan untuk mencekik dan memajalkan harap yang terganti asa ajal... Sayangnya, kau bukan pericih picik, mungkin... Seperti secangkir rindu di lusa kemarin, dengan sajian kacang-kacang yang belum sempat kau rebus...
Di depan jendela, saat senja tepat pada dimensinya. 
Kau mintaiku untuk jelaskan segala hal bahagia yang kujuluki fana..
Entah mata apapun tak akan pernah memahami buta, pada matamu.. Oh ya, mungkin pada mataku juga.. Sudahlah... Aku tak mau sajak sampah ini pun harus lagi bercerita dan mengulanginya serta... *** Sudah kuteguk habis secangkir lara yang (tak lagi) kau aduk lembut...
Berbagai macam rasa, pilu, rindu dan dusta mulai kuteguki bersama malam dan tepian waktu yang (tak lagi) senja, bergeming dan (tak lagi) memuji kirana... -ah-

EstuariNya

Cukup kau tonton saja semu-semu yang disenggamai pemeluk rukun bahagia fana.
Jangan takut, kalut, atau bahkan larut dengan syair-syair bunga bermadu kemelut... Percayalah... Pada saatnya, segala derai asa tepat bermuara pada estuariNya... Mungkin esok, lusa.. atau, Entahlah. Sambil berbenah, dengan tak apa sembari sedikit resah..
Pastilah kau yang terpilih indah..

Kau

Seumpama diksi yang merangkai puisi

Batas ?

Berhati-hatilah dengan mereka yang berjuang keras. Jika kesempatan berpihak, maka Sang Maha Luas memberikan kekuatanNya untuk melampaui batas. 
#8

Surat Lugu untuk Para Penenun Rindu-

Atas nama sang imaji, kuarahahkan mata pena ini untuk menulis pesan dan sajak lugu tentang dirimu... Hmm, Hai puisiku yang telah sejak lama menetap di ruang paling kalbu. Tak terasa begitu lekasnya kau tumbuh dan berkembang menjadi rangkai-rangkai kata yang menjelma cerita. Cerita yang tak biasa, namun juga tak begitu luar biasa. Sederhana, namun sarat akan rasa.

Lantun lugu lagu lucu darimu wajah-wajah jengkel yang akan selalu mengundang rindu, pula sendu atau sejenis aroma khayal lain yang berasal dari segala bebal, sebal dan kesal, yang sialnya malah membuatku semakin hibat akanmu.

Takdir kadang datang bertele-tele. Seringnya, permulaan cerita selalu berpasangan mutlak dengan perpisahan. Namun, jika bahagia sejatinya begitu. Melewatinya adalah keharusan tanpa syarat.

Berpisahlah untuk mengindahkan takdir, berpisahlah untuk bangun dari mimpi dan mewujudkannya.

Memang selalu ada batas antara langit dan lautan. Percayalah, seperti bulan dan angin, aku pun sama, selalu menyertai tepat di belakangmu. Berjalan di pematang rindu, akan selalu menemuimu lewat munajat panjang yang tak berjarak.

Kelak, segala hal yang kau pelajari akan membimbingmu.

Silahkan kau lintasi cakrawala, walau kadang dunia menentangmu sampai kau benar-benar mengenal dirimu.

Tolong kau ingat suara pelan ini untuk terus mengingatkanmu.
Ketika sudah mulai amat berbisik, jangan pernah kau usir pergi, dan jangan pernah biarkan sesal dahulu yang datang sebelum semua kau pahami.

Sekali lagi, takdir kadang datang bertele-tele.

Tolong kau ingat suara pelan ini untuk terus mengingatkanmu bahwa kita pernah mengeja lara dan bahagia bersama, di sini.

Kalam

Dan yang paling puisi darimu adalah lantun ucap yang tak berkilauan, namun sejuk jernih setenang telaga

Bisik, Pena, Hujan

bisik, pena dan hujan-

Kala ini kubiarkan rinai menjamah khayal untuk lalu melukis aksara dari bulir reruntuhan langit pagi

Lantas, kupahami sunyi di antara jeda hujan yang sempit dan tak jarang mati

Ada bisikMu di sana... Tentang tulus, lewat tanah yang disenggamai hantam tubi... Juga tentang inayat dan orkestrasi damai antara alam, serta tawa dan langkah lugu kaki-kaki kecil prajurit payung penadah rezeki

Ah, Dia selalu puitis bahkan dengan bisik yang amat lirih

Pikirku saja atau mungkin pikirmu jua, yang melulu pekik untuk mendustai kalam-kalamNya... Tidak? Semoga....... Kala ini kubiarkan rinai menjamah khayal untuk lalu melukis aksara dari bulir reruntuhan langit pagi

Ada bisikmu di sana, bahkan di ruang yang amat sulit kudengar karena telingaku yang kufur.

Aku, aku dan aku

Adalah lungkang yang menyulam lara
saat derai darma mulai sampai pada tujuan
kau pun   mulai harus berlabuh di tepian

tak apa, bergegaslah
aku, aku dan aku akan selalu tersenyum saat kau semua mulai berancang terbang

namun, tengoklah sejenak
aku, aku dan aku menunggu senyum  tenteram yang hampir tiga warsa aku, aku dan aku nikmati
untuk menyeka lelah yang mulai rintih, bukan karena aku, aku dan aku ingin berhitung
namun hanya ingin sekadar mencari pereda yang sedikit mampu menggambar nuansa saat mengeja nada bersama.

Minggu, 23 April 2017

Tanda (?)

?
Aku berjalan di antara pematang resah
Dilirik dan dipelototi mata-mata cemas penuh harap dan amarah

Tataplah sesekali di sisi waktu lain yang terbelah
Bukanlah mata dan kaki itu menari sumringah
Jangan coba kau pikir itu sebuah pertunjukan dalam pesta mewah

Namun, itulah lompatan-lompatan tak gagah dari kaki kecil yang kapan saja goyah, berlarian mencari arah yang bersedia menjadi tadah dari langit yang berurai marah....
Sudah kau lihat tanda tanya itu?
Coba, duduklah sejenak...
Perut-perut mereka mulai sakit, tepat saat sekelompok anak muda di balik kaca tebal gedung kokoh itu saling melumuri wajahnya dengan kue coklat, Memuja sia-sia

"kopi langit yang kau seruput diantara  perut-perut yang sakit"

Itulah lompatan-lompatan tak gagah dari kaki kecil yang kapan saja goyah, menunggu tuan pembagi gelisah.

Titik dua, kurung tutup

Di antara senyap waktu yang berjeda, aku mulai mengeja harap dengan kata. Dan namamu adalah abjad yang paling sering kueja