Kamis, 07 Januari 2016

Belajar Menulis Cerpen

Anak Matahari
Asep Hidayatullah

(Cinta adalah kado yang dikirim Tuhan dari Ibu dan Ibunya.)
***
            Siang terik, di panas aspal yang bergolak. Terlihat titik di tengah matahari yang membara. Titik itu berubah menjadi seonggok manusia yang  pada mulanya tumbuh sepasang tangan, sepasang mata, sepasang kaki, hidung, rambut, mulut yang  kemudian menjadi seorang manusia utuh yang lihai sekali berenang di matahari yang meleleh tersebut. Sesekali dia tenggelam, kemudian naik kembali ke permukaan sembari menyemburkan api lewat mulutnya. Aneh bukan? Gila. Tapi itu biasa bagi Cinta yang biasa bermain di taman kesedihan.
***
            Saat acara reuni SMA, lima tahun sebelum banyak hal terjadi di ribuan malam panjang . Di sesi dansa, sebelum dimulainya jamuan makan malam. Andi menghampiri Ana.
“Ana, kaukah itu. Cantik sekali”
“Eh Andita lestari. Eh maksudku Andi, kau juga semakin terlihat lebih gagah saja setelah terakhir kita bertemu… ”
            Percakapan pun semakin jauh, merambat pada saat pertama kali mereka bertemu di bangku SMA,  saat kucing-kucingan dengan penjaga sekolah, saat Andi membawa Ana ke lab biologi untuk menyatakan perasaan gilanya, mengumbar kata-kata sampah seperti I love u, I miss u, sedikit mengingat saat pertama kali mereka bercumbu dan melakukan banyak hal di sana.    Larut. Bersama iringan musik dan ciuman-ciuman gemetar dan malu-malu.
Itu hal yang maklum bagi semua orang yang hadir di acara tersebut. Hal wajar bagi Ana dan Andi yang dikenal sebagai pasangan tak waras.
“Besok aku akan melamarmu, aku sudah persiapkan semuanya. Besok kita pergi ke Belanda… “
Kalimat Andi memecah fantasi yang sejak tadi mulai mengkristal dalam pikiran Ana.
“Aa.. Apaa? Kau sungguh-sungguh, bagaimana dengan pandangan orang-orang kepada kita?, kau baik-baik saja?” Tiba-tiba kecemasan dan keresahan menyelimuti Ana saat  Andi mengucapkan kalimat yang dengan sungguh-sungguh diucapkannya.
“Aku sungguh-sungguh Ana. Saat pertama kali kita saling membuka satu persatu kancing seragam kita dan kita saling menikmati setiap lekuk tubuh kita. Saat itu pula aku mulai mengukuhkan hati untuk memilihmu. Tanpa peduli lagu sumbang orang-orang. Hanya kau. Kupilih. Besok aku akan membawamu pergi. Dengan atau tanpa restu sekalipun. Kau harus bersiap. Hanya kau dan aku. Titik.”
            Suara gesekan biola yang mulanya hanya menjadi pengiring dansa, lamat laun semakin jelas terdengar. Muncul menjadi musik latar yang tercipta dari keheranan yang tiba-tiba saja menggerayangi ana.

“Iya, aku mau.” Ana menjawab singkat dengan senyum seranum mangga muda. Tanpa teriring embel-embel kalimat lain, kalimat Andi tadi sudah menjadi karang penjelas yang kokoh di lautann gelisah hatinya.
***
            Beberapa tahun setelah menikah dan tinggal di Belanda, mereka dikarunia anak kandung yang tak mirip dengan mereka. Mereka menamainya “Cinta”. Cinta adalah seorang anak berparas cantik, berambut pirang khas eropa, dengan wajah berhiaskan mata biru bulat, bulu mata lentik dan hiasan alis menjuntai indah bak pelangi. Cinta adalah seorang anak yang lahir dari hasil tehnologi yang mungkin bisa disebut paling mutakhir yang dikembangkan manusia pada masa itu. Kenapa demikian, secara waras dan logis tidak akan pernah mungkin dua buah berputing busung kembar dapat melahirkan seoranng anak. mustahil. Tapi nyata. Ada, manusia di era modern ini, dengan kepintarannya mampu memintari hal-hal yang di luar kodrat, dengan kepintaraannya mencari kekayaan dengan hal-hal yang bahkan tidak pintar, dengan kepintarannya berargumen dan membodohi diri sendiri, orang lain dan banyak hal. Haha. Mungkin, rangkaian cerita ini pun tak cukup pintar. Sudah kembali lagi saja kepada Cinta.
***
            Ana dan Andi memutuskan untuk menyekolahkan Cinta di Indonesia. Negeri yang menjadi tanah kelahiran Ana dan Andi yang menurut mereka akan lebih nyaman untuk membesarkan Cinta di sini. Negeri yang kaya akan budaya, bangsa, suku, bahasa, kejahatan, korupsi dan ketidakadilan, nun selalu indah dirasa karena di sinilah awal sejarah cinta mereka diceritakan sampai cinta mereka melahirkan Cinta.
***
            Cinta yang tampak indah itu dirasa tak seindah yang dirasakannya. Cinta yang semakin tumbuh besar, beriringan pula dengan kesedihan dan kebencian yang selalu membayanginya. Seperti bayangan diri yang tersinari cahaya, ke manapun Cinta melangkah, sedih dan benci selalu setia membayanginya. Semakin mengkristal, kesedihan dan kebencian itu terpancar saat Cinta membayangkan wajah ibu dan ibunya. Sepasang istri.
***
            Sesekali dia tenggelam, kemudian naik kembali ke permukaan sembari menyemburkan api lewat mulutnya. Aneh bukan? Gila. Tapi itu biasa bagi Cinta yang biasa bermain di taman kesedihan.

“Aku ingin memiliki ayah yang tak ber-ASI.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar