Anak Matahari
Asep
Hidayatullah
(Cinta
adalah kado yang dikirim Tuhan dari Ibu dan Ibunya.)
***
Siang
terik, di panas aspal yang bergolak. Terlihat titik di tengah matahari yang
membara. Titik itu berubah menjadi seonggok manusia yang pada mulanya tumbuh sepasang tangan, sepasang
mata, sepasang kaki, hidung, rambut, mulut yang kemudian menjadi seorang manusia utuh yang
lihai sekali berenang di matahari yang meleleh tersebut. Sesekali dia
tenggelam, kemudian naik kembali ke permukaan sembari menyemburkan api lewat
mulutnya. Aneh bukan? Gila. Tapi itu biasa bagi Cinta yang biasa bermain di
taman kesedihan.
***
Saat
acara reuni SMA, lima tahun sebelum banyak hal terjadi di ribuan malam panjang .
Di sesi dansa, sebelum dimulainya jamuan makan malam. Andi menghampiri Ana.
“Ana, kaukah itu. Cantik sekali”
“Eh Andita lestari. Eh maksudku Andi, kau juga
semakin terlihat lebih gagah saja setelah terakhir kita bertemu… ”
Percakapan pun semakin jauh, merambat
pada saat pertama kali mereka bertemu di bangku SMA, saat kucing-kucingan dengan penjaga sekolah,
saat Andi membawa Ana ke lab biologi untuk menyatakan perasaan gilanya,
mengumbar kata-kata sampah seperti I love
u, I miss u, sedikit mengingat saat pertama kali mereka bercumbu dan
melakukan banyak hal di sana. Larut.
Bersama iringan musik dan ciuman-ciuman gemetar dan malu-malu.
Itu hal yang maklum bagi semua orang yang hadir di
acara tersebut. Hal wajar bagi Ana dan Andi yang dikenal sebagai pasangan tak
waras.
“Besok aku akan melamarmu, aku sudah persiapkan
semuanya. Besok kita pergi ke Belanda… “
Kalimat Andi memecah fantasi yang sejak tadi mulai
mengkristal dalam pikiran Ana.
“Aa.. Apaa? Kau sungguh-sungguh, bagaimana dengan
pandangan orang-orang kepada kita?, kau baik-baik saja?” Tiba-tiba kecemasan
dan keresahan menyelimuti Ana saat Andi
mengucapkan kalimat yang dengan sungguh-sungguh diucapkannya.
“Aku sungguh-sungguh Ana. Saat pertama kali kita
saling membuka satu persatu kancing seragam kita dan kita saling menikmati
setiap lekuk tubuh kita. Saat itu pula aku mulai mengukuhkan hati untuk
memilihmu. Tanpa peduli lagu sumbang orang-orang. Hanya kau. Kupilih. Besok aku
akan membawamu pergi. Dengan atau tanpa restu sekalipun. Kau harus bersiap.
Hanya kau dan aku. Titik.”
Suara
gesekan biola yang mulanya hanya menjadi pengiring dansa, lamat laun semakin
jelas terdengar. Muncul menjadi musik latar yang tercipta dari keheranan yang
tiba-tiba saja menggerayangi ana.
“Iya, aku mau.” Ana menjawab singkat dengan senyum
seranum mangga muda. Tanpa teriring embel-embel kalimat lain, kalimat Andi tadi
sudah menjadi karang penjelas yang kokoh di lautann gelisah hatinya.
***
Beberapa
tahun setelah menikah dan tinggal di Belanda, mereka dikarunia anak kandung
yang tak mirip dengan mereka. Mereka menamainya “Cinta”. Cinta adalah seorang
anak berparas cantik, berambut pirang khas eropa, dengan wajah berhiaskan mata
biru bulat, bulu mata lentik dan hiasan alis menjuntai indah bak pelangi. Cinta
adalah seorang anak yang lahir dari hasil tehnologi yang mungkin bisa disebut
paling mutakhir yang dikembangkan manusia pada masa itu. Kenapa demikian,
secara waras dan logis tidak akan pernah mungkin dua buah berputing busung
kembar dapat melahirkan seoranng anak. mustahil. Tapi nyata. Ada, manusia di
era modern ini, dengan kepintarannya mampu memintari hal-hal yang di luar
kodrat, dengan kepintaraannya mencari kekayaan dengan hal-hal yang bahkan tidak
pintar, dengan kepintarannya berargumen dan membodohi diri sendiri, orang lain
dan banyak hal. Haha. Mungkin, rangkaian cerita ini pun tak cukup pintar. Sudah
kembali lagi saja kepada Cinta.
***
Ana
dan Andi memutuskan untuk menyekolahkan Cinta di Indonesia. Negeri yang menjadi
tanah kelahiran Ana dan Andi yang menurut mereka akan lebih nyaman untuk
membesarkan Cinta di sini. Negeri yang kaya akan budaya, bangsa, suku, bahasa,
kejahatan, korupsi dan ketidakadilan, nun
selalu indah dirasa karena di sinilah awal sejarah cinta mereka diceritakan
sampai cinta mereka melahirkan Cinta.
***
Cinta
yang tampak indah itu dirasa tak seindah yang dirasakannya. Cinta yang semakin
tumbuh besar, beriringan pula dengan kesedihan dan kebencian yang selalu
membayanginya. Seperti bayangan diri yang tersinari cahaya, ke manapun Cinta
melangkah, sedih dan benci selalu setia membayanginya. Semakin mengkristal,
kesedihan dan kebencian itu terpancar saat Cinta membayangkan wajah ibu dan
ibunya. Sepasang istri.
***
Sesekali
dia tenggelam, kemudian naik kembali ke permukaan sembari menyemburkan api
lewat mulutnya. Aneh bukan? Gila. Tapi itu biasa bagi Cinta yang biasa bermain
di taman kesedihan.
“Aku ingin memiliki ayah yang tak ber-ASI.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar